Desa Pancasila di Kawasan Sindoro
Oleh: Sanusi, M.Pd.

DESA Buntu, adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Desa ini berada di ketinggian 1300 Mdpl, sehingga berudara sejuk dengan pemandangan indah di lereng gunung Sindoro. Penulis mengenal desa ini ketika Launching Wonosobo sebagai Laboratorium kebhinekaan yang digelar oleh Kesbangpol Wonosobo di pendopo kabupaten. Acara ini diadakan seiring dengan program Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Pembahasan Desa Buntu dalam konteks keindonesiaan kita menjadi penting, karena desa kecil yang dihuni sekitar 903 KK dengan empat agama yang dianut, mampu mengelola keragaman yang ada, sehingga tercipta harmonisme kehidupan sosial masyarakat yang sejuk dan damai. Oleh karena itu, BPIP menetapkan desa Buntu sebagai desa Pancasila. Kondisi mereka menjadi contoh indahnya keragaman di Wonosobo, lebih jauh bisa dikatakan bahwa, semboyan Bhineka Tunggal Ika menemukan fakta yang hidup di sini.
Fakta-fakta keragaman yang ada di desa Buntu antara lain, dari 903 KK terbagi sebanyak 25 KK pemeluk agama Budha, 60 KK pemeluk agama Katolik, 8 KK pemeluk Kristen Protestan dan 810 KK beragama Islam. Keempat agama tersebut masing-masing mempunyai tempat ibadah yang jaraknya sekitar 70 meter saja. Dalam ruang sedekat itu bisa dikatakan tempat ibadah mereka sangat berdampingan, sekilas saja kondisi ini mengisyaratkan bahwa para pemeluk agama disini bisa hidup rukun, setara dan saling menghormati eksistensi masing-masing.
Kepala desa Buntu pak Suwoto, menjelaskan bahwa kerukunan masyarakatnya telah terbentuk sejak awal desa ini berdiri. Para sesepuh desa bersepakat bahwa desa ini didirikan untuk semua kalangan, barang siapa melanggar, maka ia akan buntung. Kemudian dalam keseharian kerukunan itu terlihat, jika salah satu pemeluk agama merayakan hari-hari besar agamanya, maka pemeluk agama lainnya membatu mengamankan jalannya acara. Lalu dalam hal pembangunan atau perawatan tempat ibadah, selalu dilakukan secara gotong-royong, tidak heran jika ada ibu-ibu berkerudung membantu menyapu halaman gereja.
Setiap bulan Juli, penduduk desa Buntu tumpah ruah dalam acara “merti desa” (bersih desa atau ruwatan desa). Dalam acara ini semua masyarakat terlibat tanpa membedakan latar belakang mereka, dalam acara ini biasanya ada makan bersama dan pagelaran wayang kulit. Hebatnya seluruh dana dalam acara ini adalah hasil iuran bersama seluruh warga secara sukarela.
Mencermati beberapa fakta tentang desa Buntu di atas, ada beberapa nilai positif yang dapat dikembangkan.
Pertama, keteladanan tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi simpul penting dalam mewujudkan semangat toleransi dan kebersamaan, seperti wasiyat pendiri desa Buntu yang menyebutkan akan buntung jika melanggar kesepakatan. Penamaan Buntu rupanya menjadi alarm pengingat yang dikenang warga, bahwa jika mereka tidak menghormati semua yang hidup di desanya, maka hidupnya akan buntung atau merugi.
Kedua, berdirinya tempat ibadah secara berdampingan menyiratkan bahwa lebih penting mengedukasi para penganut agama yang berbeda-beda untuk saling menghormati, daripada membatasi pembangunan rumah ibadah dengan aturan-aturan yang justru melanggar pemenuhan hak asasi manusia. Disadari atau tidak peraturan pembatasan pendirian rumah ibadah telah melahirkan tindakan diskriminasi kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, lagipula pembatasan itu telah menjadi perintang besar terhadap sebagian penganut agama. Misalnya karena tidak bisa memenuhi sarat 60/90 penganut suatu agama tidak bisa mendirikan rumah ibadah, hal yang terjadi kemudian untuk sekali ibadah seseorang yang tinggal di desa harus pergi ke kota kabupaten yang kebetulan ada rumah ibadahnya. Hal ini tentu merepotkan, apalagi jika tempat ibadahnya hanya ada di kota propinsi.
Ketiga, “Merti Desa” yang ada di desa Buntu menjadi contoh ruang ekspresi sosial secara bersama-sama. Kegiatan sosial bersama memberi celah bahwa sekalipun ada ruang privasi karena keyakinan agama, selalu ada ruang kedua yaitu ranah sosial yang bisa menyatukan semua.
Desa Buntu saat ini telah menjadi rujukan para peneliti dari berbagai universitas dan lembaga yang ingin mempelajari cara merawat perbedaan. Tentu menjadi berkah kontan yang diterima warganya, karena keberhasilan mereka dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis ditengah perbedaan yang ada. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan: kebenaran, kebajikan, kedamaian, kesetaraan, kasih sayang dan nir-kekerasan dapat diwujudkan di manapun asal ada kemauan, desa Buntu adalah contoh dalam hal ini. Mari belajar merawat perbedaan dari desa Buntu!. Hal ini tercermin pada nukilan syair berbahasa Jawa Kuna berikut:
Rwaneka dhatu winuwus Budha Wisha Bhineki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan siwatatwa tunggal,
Bhineka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.
Artinya : Agama Budha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Budha) dan siwa (Hindu) adalah tunggal, terpecah belah tetapi satu jua, ta ada dharma yang mendua
Petikan syair berbahasa Jawa Kuno tersebut dikutip dari kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular pada abad ke-14. Pada masa itu sedang berlangsung pemerintahan Prabu Hayam Wuruk di kerajaan Majapahit yang terkenal sedang mengalami masa kejayaan. Kitab Sutasoma sendiri menjadi terkenal karena pada pupuh ke-139 pada bait ke-5 ini terdapat Frasa Bhinneka Tunggal Ika yang dijadikan semboyan persatuan bangsa Indonesia atas usulan Muhammad Yamin pada sidang BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945).
Ketepatan Frasa Bhinneka Tunggal Ika dengan realita bangsa Indonesia telah mendorong pemerintah untuk mengakui secara resmi semboyan ini dan keluarlah peraturan pemerintah no 66. Tahun 1951 yang menyebutkan bahwa Lambang NKRI terdiri dari tiga bagian, yakni Burung Garuda, Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika diatas pita yang dicengkram oleh Garuda.
Fakta-fakta tersebut berkaitan erat dengan historis kesepakatan para pendiri bangsa dengan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa, Berbhineka adalah kesadaran tertinggi dari entitas sebuah bangsa bernama Indonesia. Para pendiri bangsa tentunya memiliki tujuan mulia agar kejayaan besar pada masa lalu di kerajaan Majapahit terulang kembali. Sekat-sekat perbedaan yang lahir alami dari rahim keragaman geografis, etnis, budaya dan agama diharapkan menjadi perekat persatuan bangsa, sehingga bangsa ini mampu menghadapi segala tantangan yang ada dan mampu mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur bersama-sama. (****)
Ahmad Sanusi, M.Pd. seorang Dai/Aktivis Humanity First Indonesia dan Pengurus Pishi. Tulisan ini disunting oleh Dr. Siti Maisaroh, M.Pd., dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Magister, Universitas PGRI Jombang dan Koordinator Bidang Perlindungan Anak dan Perempuan, PISHI