Gaple, Sarana Cagak Lek Yang Sering Dianggap Jelek
Oleh: Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum.

Domino atau gaple adalah salah satu permainan yang banyak dikenal warga. Menurut KBBI, domino merupakan permainan dengan 28 kartu (kayu, tulang, dsb) yang bermata (bertitik besar), tiap kartu dibagi menjadi dua bidang, tiap bidang berisi 0–6 titik. Selain terbuat dari kayu atau tulang, gaple juga terbuat dari bahan plastik atau kertas tebal dengan ukuran 3X5 cm, dengan warna dasar putih atau kuning dan warna titik atau biji berwarna merah atau hitam.
Permainan gaple biasanya dilakukan oleh masyarakat sebagai sarana cagak lek pada saat malam hari ketika ronda malam, kumpul keluarga, ataupun orang hajatan. Cagak lek berasal dari kata cagak melek, cagak memiliki arti tiang dan melek adalah terjaga atau tidak tidur. Jadi, kata cagak lek adalah istilah dalam bahasa Jawa yang sering digunakan sebagai sarana untuk mencegah tidur di malam hari agar tetap terjaga sampai waktu tertentu. Biasanya permainan ini dilakukan oleh kaum lelaki, namun tidak sedikit pula perempuan yang terlibat.
Sejarah permainan Domino atau Gaple
Mengutip dari laman, asal usul gaple dapat ditelusuri kembali ke Cina kuno. Domino pertama kali muncul di Cina pada abad ke-12. Permainan ini menggunakan ubin yang mirip dengan domino modern tetapi dengan desain yang sedikit berbeda. Pada saat itu, permainan ini dikenal dengan nama pai gow yang bermakna memukul dadu.
Domino mulai dikenal di Eropa pada abad ke-18 yang diperkenalkan oleh para penjelajah dan pedagang dari Cina ke Eropa. Namun, permainan domino mengalami perubahan bentuk dan penyesuaian sesuai dengan budaya lokal.
James Smith, ahli budaya dari Universitas Oxford, menyatakan bahwa domino bukan hanya sekadar permainan tetapi juga cerminan dari interaksi budaya global. Smith, lebih lanjut menjelaskan domino menyatukan elemen-elemen budaya Cina dan Eropa dalam satu permainan yang sederhana namun mendalam. Permainan ini menunjukkan bagaimana elemen budaya dapat beradaptasi dan berkembang ketika diperkenalkan ke konteks yang berbeda. Di sisi lain, Michael Cole menjelaskan bahwa permainan domino telah dipengaruhi oleh berbagai budaya dan mengalami adaptasi sehingga membentuk cara permainan pada saat ini.
Sementara, di Indonesia, permainan domino dikenal dengan nama gaple. Istilah gaple berasal dari kata gapple, bahasa Inggris gap yang berarti celah. Hal ini mengacu pada cara pemain menyusun ubin dengan cara yang memanfaatkan celah-celah untuk mencocokkan angka. Gaple menjadi salah satu permainan populer di kalangan masyarakat Indonesia dan sering dimainkan dalam berbagai acara sosial dan keluarga.
Gaple, antara permainan “hiburan” dan “judi”
Permainan gaple merupakan permainan yang sangat menasyikan bagi pemainnya. Hal ini sering penulis temukan tatkala keluarga penulis sedang berkumpul dan salah satu permainnya adalah gaple. Ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur karena dapat berkumpul yang disebabkan beberapa kakak/saudara penulis banyak yang berdinas di luar kota. Mereka pasti bersepakat untuk main “press”, istilah yang digunakan oleh keluarga penulis untuk sebutan permainan gaple. Permainan ini tentu saja tidak menggunakan uang, sebagai hiburan pada saat kumpul keluarga.
Dengan menempati salah satu ruangan, biasanya ruang santai, ayah dan kakak-kakak penulis mulai menggelar tikar sebagai alas untuk bermain gaple. Permainan ini dilakukan setelah makan malam dan beristirahat sejenak, mulai dari pukul 20:00 sampai tengah malam, pukul 24:00. Ibunda dengan senangnya membuatkan wedang kopi atau teh hangat dan beberapa macam camilan sebagai pelengkap dalam bermain.
Sambil bermain gaple, ayah menanyakan kabar kepada anak-anaknya satu persatu. Mereka terlibat percakapan yang sangat akrab dan penuh kegembiraan karena dapat berkumpul. Kumpulnya anggota keluarga ini merupakan momen yang terindah dan sangat membahagiakan bagi ayah –ibu dalam melepaskan rasa rindu yang terdalam karena sekian lama mereka berpisah karena dinas. Mereka saling bersendau gurau dan saling “garap-garapan” (meledek).
Suasana rumah yang semula sepi berubah menjadi hangat karena pada “ger-geran” tertawa lepas, apalagi bila ada salah satu ada yang kartunya mati atau mengocok kartu. Selain diledek, yang mengocok juga akan mendapatkan upah gambar Cangak, sejenis burung berleher panjang, sebagai simbol kekalahan. Sebaliknya bagi yang mendapatkan nilai tertinggi akan mendapat hadiah gambar bintang. Di samping itu, bagi peserta yang mengocok kartu tidak diperbolehkan mengambil camilan sebagai bentuk hukuman. Bagi penulis dan keluarga penulis, permainan gaple ini sungguh sangat menghibur dan menyenangkan.
Lain halnya dengan permainan domino atau gaple yang dialami oleh teman-teman penulis pada saat bekerja di pabrik pengolahan minyak kelapa sawit di Riau. Sebagai pekerja pabrik pengolahan minyak kelapa sawit, pekerja mendapatkan upah sebanyak 2 kali dalam satu bulan. Gaji pokok (gaji kecil) diberikan setiap Sabtu sore pada pekan ke 2, sedangkan gaji besar (tunjangan dan upah lemburan) diberikan pada Sabtu sore di pekan ke 4 atau akhir bulan. Pada saat itu gaji diberikan secara cash dan tanda tangan, tidak seperti sekarang yang memalui rekening bank.
Teman-teman penulis yang suka permainan gaple biasanya mencari tempat atau rumah kosong untuk bermain gaple. Permainan ini dimulai setelah mereka pulang bekerja dan mendapatkan gaji. Dalam permainan ini, mereka saling bertaruh dengan nominal uang yang telah ditentukan. Mereka bermain gaple terus menerus tanpa henti sampai menjelang Senin karena mereka harus masuk kerja. Setelah selesai bermain, semua mengeluh kalau mereka kalah dalam permainan “judi” gaple yang mereka gelar beberapa hari.
Untuk itu, penulis bingung dengan keluhan mereka bila taruhannya kalah. Dalam benak penulis bertanya-tanya, kok mereka kalah semua, terus yang menang siapa? Selain menderita kekalahan dalam bermain gaple, mereka juga kehilangan banyak hal antara lain, mereka tidak menjalankan sholat 5 waktu, makan tidak teratur, tidak tidur, dan uang hasil bekerja 2 minggu lenyap seketika tanpa sisa. Karena uang gaji sudah habis tanpa sisa, akhirnya mereka kas bon di warung untuk biaya makan bahkan mereka juga ada yang terjerat hutang sesama pemain gaple.
Menurut penulis, judi yang berkedok permainan gaple merupakan pekerjaan yang sangat merugikan dan sia-sia. Maka dari itu, tidaklah heran bila banyak orang yang antipasti dengan permainan domino atau gaple ini. Bagi yang antipasti dengan permainan gaple pasti akan menilai bahwa semua permainan pasti judi, dan akhirnya merugi. Dan yang lebih ekstrim lagi, para penjudi gaple ini akan mempertaruhkan semua yang mereka miliki untuk kepuasan nafsunya di meja judi. Tidak sedikit rumah tangga berantakan, anak tidak terurus karena orang tua yang suka permainan judi, seperti main gaple. Mari kita hindari permainan yang bersifat judi. Judi sebagai awal kehancuran hidup kita.
Bicara permainan domino atau gaple bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda. Satu pihak permainan ini berfungsi sebagai hiburan, ajang silaturahmi, sosial, budaya, dan kemayarakatan. Di sisi palin, gaple merupakan momok bagi penggemarnya dalam berkutat di meja judi. Mereka rela melepaskan semua apa yang dimiliki habis di meja judi dengan kedok permainan gaple. Oleh karenanya, tak heran banyak orang yang berpikir jelek terhadap permainan domino atau gaple. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi pembaca terkait cara pandang kita terhadap permainan domino atau gaple. Aamiin. (*****)
Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., adalah dosen Universitas PGRI Madiun, dan Wakil Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Editor: Wadji