Ibu Sang Heroik di Balik Lahirnya Tokoh Fenomenal
Oleh: Siti Nuraini Yusuf, S.Pd

Sosok ibu memiliki multifungsi dan peran penting dalam mendidik anak. Dalam arena kehidupan apapun eksistensi seorang ibu selalu hadir menginspirasi pendidikan anaknya, baik pendidikan iman, moral, fisik, jasmani, intelektual, psikologis, maupun sosial. Melalui didikan seorang ibu, kepribadian seorang anak bisa terbentuk dengan baik dan mapan dalam mengisi ruang segala aspek kehidupan yang penuh kompetitif ini karena ibu terus membimbingnya tanpa lelah sejak masih kecil.
Pembentukan karakter seorang anak tidak terpisah dari figur sentral seorang ibu sebagai madrasah pertama bagi sang anak. Ibu harus mampu menjadi teladan
atau model bagi anak-anaknya karena anak akan mencontoh sikap dan perilaku orang tuanya.
Ibu harus cerdas dalam menyikapi problematika perkembangan zaman yang kian kompleks dan kompetitif guna menyiapkan generasi yang beradab dan mampu menghadapi rimba kehidupannya kelak.
Sejak peradaban kuno sampai peradaban modern, selalu diwarnai jejak-jejak sejarah peradaban kemanusiaan yang diperankan oleh tokoh-tokoh pergerakan yang mempertahankan nilai-nilai luhur moral dan etika dalam tata kehidupan yang luas baik secara individual-komunal maupun secara global-universal.
Peradaban manusia yang seperti itulah yang ditempa oleh tangan-tangan sosok ibu yang heroik yang akan melahirkan tokoh-tokoh besar dan berpengaruh yang mengubah tatanan nilai kehidupan dari mengkhawatirkan menjadi sesuatu yang meyakinkan dan membanggakan.
Menurut pandangan penulis, ada tiga sosok ibu hebat yang telah melahirkan tiga tokoh nasional yang pantas untuk digugu dan diteladani walaupun masih ada sederetan lagi nama para ibu pejuang lainnya yang berperan besar dalam pembangunan kehidupan manusia. Namun, dari sudut pandang tertentu fokus penulis tertuju pada tiga figur tersebut. Ketiga sosok Ibu inspiratif dimaksud antara lain:
1. Ibu Raden Ayu Toeti Saptomarin
2. Ibu Suldaiyah Rais
3. Ibu Aliyah Rasyid Baswedan
Setiap orang tua terutama“ibu” sudah pasti menginginkan anak-anaknya cerdas, sehat, rajin beribadah, berakhlakul karimah, dan sukses dalam pendidikan hingga karier yang bermanfaat untuk agama, masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagaimana halnya ibundanya B. J. Habibie, Raden Ayu Toeti Saptomarini, yang berhasil mendidik Habibie sehingga menjadi manusia yang jenius, sukses, dan religius. Sejak usia dini, ibunda Raden Ayu Toeti Saptomarini telah menanamkan pendidikan karakter kepada B. J. Habibie bersaudara, yang lebih bertumpu pada nilai-nilai spiritualitas.
Sudah menjadi tradisi dalam kehidupan keluarga bahwa anak-anaknya harus rajin sholat lima waktu dan membaca Ayat suci Al-Qur'an setiap hari dengan memberikan hadiah sesuai selera. B. J. Habibie hanya meminta hadiah berupa buku bacaan dibandingkan dengan saudaranya yang lain yang lebih cenderung pada permainan dan jajanan.
Dalam membesarkan delapan anaknya, ibunda Tuti tidak pernah mengeluh karena beliau telah menyampaikan sumpah di depan jenazah suaminya, “Demi Allah, seluruh anak-anak akan aku didik menjadi anak yang sholeh-sholehah dan akan aku sekolahkan setinggi-tingginya dengan biaya dan keringatku sendiri.” Ini merupakan profil seorang ibu hebat yang sangat luar biasa, memiliki komitmen dan ikhlas menjadikan anak-anaknya sebagai generasi agamis dan moderatif.
Sejak kecil, B. J. Habibie telah dididik dengan membaca buku. Saking gemarnya membaca, sampai tertidur di dalam keranjang anyaman rotan yang berisikan buku. Hampir setiap saat, Habibie kenyang dengan membaca semua jenis buku
Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, hadir sosok seorang ibu yang luar biasa. Beliau ialah ibunda Hajah Sudalmiyah Rais. Ibunda Amin Rais, seorang ibu sholehah yang selalu mendoakan dalam setiap ibadah agar anak-anaknya sukses, sholeh-sholehah, dan bahagia dunia akhirat. Selain itu, dalam urusan dunia pendidikan, selalu dinomorsatukan dalam mempersiapkan generasinya.
Sejak kecil, ibunda Hajah Sudalmiyah Rais, mendidik dan mengawal anak-anaknya dengan sikap jujur, adil, disiplin, demokrati, dan tegas. Sikap itu diterapkan dalam menuntut ilmu dan melaksanakan ibadah. Ibunda selalu mengontrol setiap gerak laku keseharian.gi anak-anaknya. Walaupun tegas, tetapi sang ibu tetap demokratis karena tidak pernah memaksakan kehendaknya.
Ketika menjabat sebagai ketua MPR, Amin Rais tetap menjadikan ibundanya sebagai konsultan dan tempat pelipur lara, manakala ia menghadapi situasi dan persoalan pelik.
Ibunda menanamkan suatu prinsip hidup sederhana yang menjadi pegangan bagi anak-anaknya, yaitu mencari ridha dan ampunan Allah. Untuk mencapainya, manusia harus berbicara dan berbuat apa adanya. “You are what you are."
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan sampai dengan usia sepuh seorang Amin Rais tetap mengkritisi kebijakan pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi kontrol dalam dunia demokrasi.
Prof. Dr. Hajah Aliyah Rasyid Baswedan, M. Pd. seorang Guru Besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Ibunda Anies Baswedan tersebut mendidik anak-anaknya untuk bisa mandiri, menyelesaikan masalah dengan baik, dan juga bebas melakukan apapun selama masih berdampak positif. Berbeda pola asuh anak dengan dua ibunda sebelumnya. Kalau ibunda Aliyah Baswedan dalam pembentukan karakter anaknya selain penekanan pada aspek spiritualitas keagamaan, juga mengkreasi dengan beberapa jenis pola baru.
Di antara pola baru dimaksud, antara lain tidak pernah menuntut anaknya untuk meraih prestasi, tetapi membiarkan anaknya melakukan banyak hal yang dia sukai selagi itu merupakan hal yang positif. Hal ini yang menumbuhkan kesadaran bagi anaknya untuk meraih prestasi dalam dunia pendidikan.
Selain itu, pola membiasakan masa kecil sang anak dengan hal yang positif yaitu dengan memberikan teladan serta kebiasaan gemar membaca dalam ruang perpustakaan keluarga sehingga anaknya menjadi terbiasa dengan gemar membaca sejak usia dini.
Pola asuh membentuk kemandirian dan kebebasan yang terarah pada anak karena semasa kecil tidak pernah memanjakkan mereka. Anak-anaknya bebas melakukan banyak hal yang disukai selagi tidak membahayakan keselamatan dirinya. Beliau tidak pernah melarang anaknya untuk berorganisasi sehingga jiwa kepemimpinan anaknya, Anies Baswedan, tumbuh secara sehat dan teruji selama
menjabat kepemimpinan di masa yang penuh tantangan dalam dunia global.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa eksistensi seorang tokoh sebagai "figure public" tidak terjadi secara instan, tetapi melalui proses pembentukan karakter sejak dini. Bahkan, sejak masih dalam kandungan.
Banyak faktor yang mengindikasikan bahwa lahirnya atau munculnya seorang tokoh besar tersebut karena kesadaran seorang ibu yang menginginkan kehidupan masa depan anaknya yang lebih baik dan mampu membuat perubahan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mereka, para tokoh feneomenal dimaksud tampil kesatria, mengemban amanah rakyat, tetapi tetap mempertahankan jati dirinya sebagai figur yang jujur, amanah, visioner, dan aspiratif.
Namun, kenyataanya banyak kita saksikan adanya perilaku sebagian tokoh generasi muda yang kurang membawa kemaslahatan bagi kepentingan bangsa baik politisi, birokrat, pengusaha, maupun tenaga profesional lainnya.
Sikap idealisme seakan-akan dikalahkan oleh kepentingan tertentu setelah menjabat dan menduduki jabatan strategis.
Semangat loyalitas diabaikan oleh realitas yang penuh intrik dan tipu daya sehingga banyak yang terjerat berbagai kasus hukum yang tidak mendidik dalam mengemban amanah rakyat.
Timbul pertanyaan, mengapa sebelum menjabat, mereka sangat idealis, tetapi setelah bergumul dengan kondisi tertentu mereka mudah terjebak dengan perilaku negatif? Apakah mereka gagal paham? Ternyata hal itu terkait erat dengan pola
didik atau pola asuh orang tua, khususnya sosok ibu yang salah memahami dan mengabaikan pentingnya pendidikan karakter dan nilai-nilai spiritualitas, moral, dan etika dalam kehidupan keluarga.
Hal ini terlihat beberapa ibu mileneal sekarang, baik wanita karier atau tidak lebih cenderung menghabiskan banyak waktu untuk kesibukan yang lain daripada fokus pada pendidikan karakter anaknya di rumah.
Pola asuh anak malah diserahkan pada "baby sister".
Komunikasi dan kedekatan emosi maupun psikologis dengan anak jarang terjadi. Di antara mereka, lebih mementingkan trend dan gaya hedonisme serta materialis yang menganggap bahwa dengan materi semuanya terpenuhi dan teratasi dari segala masalah.
Penulis pesimis dan berasumsi bahwa au ibu-ibu Indonesia terjangkiti gaya hidup serupa, maka bukan tidak mungkin generasi yang akan datang akan berkarakter bar-bar, egoistis, intoleran, dan tidak berjiwa moderasi keberagaman.
Untuk itu, sangat diharapkan semoga realita ini menjadi inspirasi dan edukasi bagi ibu-ibu Indonesia lainnya untuk selalu mengawal perkembangan anaknya dengan pola didik dan pola asuh yang bermakna dan bermartabat. Utamakan semangat spiritualitas, yaitu kedekatan komunikasi dengan sang khalik dalam setiap ritual ibadah serta semangat kekeluargaan yang utuh guna membangun dan membentuk karakter anak-anak kita menjadi sosok yang baik, tangguh, mandiri, bertanggung jawab, jujur, moderat, adil, kreatifi, inovatif, dan kerja keras. Semoga bermanfaat. (****)
Siti Nuraini Yusuf, S.Pd adalah Guru MTs. Negeri 1 Ende, Flores NTT
(****)