Makhluk Buruk Rupa Luar Angkasa dan Kita Manusia Bumi
Oleh: Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono

Sebuah video di TikTok cukup mengusik penulis. Usikan ini barokah karena memacu penulis untuk mengulasnya. Tidak perlu disebutkan nama yang membuat TikTok, tapi isinya cukup menggugah. Dia berbicara tentang makhluk asing luar angkasa yang biasa kita sebut “alien”.
Alien berwujud makhluk pendek abu-abu dengan kepala besar tanpa rambut, dan mata besar berwarna hitam kelam. Orang Amerika dan Eropa menyebutnya “the grey’, si abu-abu. Menurut sang penutur ini, ternyata seorang cenayang, alien ini berasal dari sebuah peradaban di sebuah planet mirip bumi kita. Nah, sampai di sini ulasannya menjadi menarik.
Makhluk abu-abu buruk rupa ini sebenarnya adalah hasil mutasi gen yang sedang kelimpungan. Mereka memacu perkembangan teknologi di planetnya sampai pada titik yang luar biasa. Semua daya upaya, pikiran, dana, dan tenaga dikerahkan untuk mencapai puncak kecanggihan teknologi. Namun pada saat yang sama, mereka mengabaikan keterhubungannya dengan alam dan lingkungan hidup. Mereka menomorduakan hubungan emosional antar sesamanya karena hanya mati-matian mengejar kecanggihan teknologi semata.
Walakin, sampai pada titik tertentu, mereka memang luar biasa maju secara teknologi (buktinya mereka bisa melintasi alam semesta yang luar biasa luas ini untuk sampai ke Bumi). Namun, ini dibayar dengan hilangnya kemurnian gen mereka sebagai makhluk berakal budi. Penyatuan sifat dan karakteristik mereka sebagai makhluk berkesadaran dengan kecanggihan teknologi mungkin telah merusak kemurnian gen itu. Bahkan kedahsyatan teknologi mereka pun ternyata tidak mampu mengembalikan struktur asli gen mereka. Wujud mereka yang buruk rupa seperti itu pun adalah hasil sia-sia mengembalikan kemurnian susunan gen mereka.
Jadilah mereka mengembara di alam semesta untuk menyelamatkan ras mereka dari kepunahan abadi. Mereka pun menemukan Bumi, dan mendapati bahwa penghuninya ternyata masih mempunyai gen manusia yang masih murni, tidak tercemar oleh campur baur teknologi. Mereka pun diam-diam — sekali lagi dengan teknologi yang mereka miliki — menyuntikkan gen mereka ke gen manusia Bumi untuk mendapatkan keturunan yang lebih sehat namun tetap membawa ciri ras mereka. Ini yang disebut sebagai “manusia hibrid” oleh si empunya akun Tik Tok tersebut.
Lepas dari kebenaran eksistensial para abu-abu ini dan juga misi besarnya, yang menggugah saya adalah bagian dimana mereka mengabaikan keterkaitan dengan alam dan sesamanya yang disinggung di atas tadi. Beberapa orang menulis komentar di video itu: “bukankah ini yang sedang kita lakukan? Bukankah umat manusia di Bumi (bahasa Inggrisnya “the Earthlings”) ini sedang melakukan apa yang para abu-abu itu lakukan dulu di planetnya sendiri? Kita sedang mengejar keunggulan teknologi dan ekonomi menuju ke titik dimana kita melepas koneksi kita dengan alam, dengan lingkungan hidup, bahkan dengan sesama manusia sendiri.”
Di dunia pendidikan sendiri, gambaran itu tercermin pula di profil kurikulum kita. Nampaknya kita sedang mengejar pencapaian teknologi canggih lewat pemutakhiran Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence), mekanisme serba digital, ilmu coding, perancangan robot, Virtual Reality, penyatuan unsur manusiawi dengan teknologi digital (disebut “the singularity”), bahkan sampai pada pemanipulasian gen manusia, dan lain sejenisnya. Bahkan bidang-bidang kajian pada persyaratan penelitian di Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) tahun lalu pun sarat dengan muatan teknologi dan bisnis.
Teknologi digital, ekonomi hijau, ekonomi biru, kedokteran menjadi bidang yang memayungi upaya penelitian dosen. Tak satu pun penelitian payung tersebut berbicara tentang humaniora, budaya, apalagi sastra. Sebagai akibatnya, kita mengunggulkan mereka yang mengejar pencapaian canggih tersebut.
Kita juga sering memandang sebelah mata pada mereka yang masih setia menekuni ilmu pemahaman lintas budaya, sastra, kemanusiaan, relasi antara manusia dengan lingkungan alami, bahkan spiritualisme manusia sebagai makhluk yang terdiri atas badan, pikiran, dan jiwa. Singkatnya, kita sedang menggali liang di mana gen kemanusiaan kita akan terkubur sehingga kita tidak lagi bisa memperolehnya. Persis seperti apa yang menimpa aliens abu-abu itu.
Upaya global seperti Sustainable Development Goals (SDG) pun memang mulia, namun laporan SDG tahun 2023 lalu menyatakan bahwa pencapaiannya ternyata baru 17%. Masih sangat jauh dari harapan. Sementara itu, derap kemajuan teknologi dan keinginan meluaskan bisnis berskala raksasa makin kencang.
Parlemen pun konon berisikan pengusaha-pengusaha besar yang tentunya akan memperjuangkan kepentingan ekspansi usahanya melalui lobi-lobi dengan rezim yang sedang berkuasa. Upaya mereka nampaknya juga kurang dibarengi dengan pemeliharaan kualitas lingkungan hidup, dan kesejahteraan penduduk lokal beserta adat istiadat dan budayanya. Yang terakhir ini lebih sering kemudian dipinggirkan oleh kepentingan ekspansi bisnis yang lebih bernilai ekonomis.
Jadi, lepas dari si alien abu-abu dan si pemilik akun Tik Tok itu sedang berbicara benar atau hanya sekedar gombal gambol. Kita perlu memperhatikan ke mana kita sedang menuju. Tentu kita tidak ingin berakhir menjadi makhluk-makhluk abu-abu botak pendek dengan mata hitam besar yang sedang kelimpungan menjelajah alam semesta untuk menyelamatkan jati dirinya yang paling inti.
Catatan: menurut beberapa sumber dari para fisikawan, para aliens ini menjelajah alam semesta bukan dengan pesawat berkecepatan melebihi cahaya tapi dengan berpindah dimensi paralel. Teknologi mereka memampukan itu. Ini karena menurut teori, tidak ada benda bermassa di alam semesta yg bisa melebihi kecepatan cahaya. Jika pun ada, jarak yang harus ditempuhnya pun bisa trilyunan mil yang tetap tidak akan terjangkau dalam waktu milyaran tahun. (****)
Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono adalah guru besar pendidikan bahasa di Universitas Ma Chung dan Ketua Dewan Pakar di Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Artikel ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).