Melihat Langkah Grusah-grusuh Menteri Bahlil Larang Warung Jual LPG 3 Kg

Imbas kebijakan tersebut, antrean panjang warga beli LPG 3 kg di pangkalan terjadi di beberapa tempat. Antrean panjang warga berburu LPG 3 kg terlihat di salah satu agen resmi di Sawangan, Depok, Jawa Barat yakni PT Internusa Jaya Sinergi Global.

Feb 4, 2025 - 12:47
Melihat Langkah Grusah-grusuh Menteri Bahlil Larang Warung Jual LPG 3 Kg

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Pemerintah bakal melarang menjual pengecer atau warung menjual LPG 3 kg. Larangan ini diterapkan agar penerima subsidi gas lebih tepat sasaran, serta tak ada penggelembungan harga gas melon.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan nantinya tidak ada lagi pengecer menjual gas bersubsidi tersebut. Semua pengecer akan diubah menjadi pangkalan, yang stoknya langsung dari Pertamina.

Pemerintah memberikan waktu satu bulan bagi pengecer untuk mendaftarkan usahanya menjadi pangkalan resmi penjual LPG 3 Kg.

"Per 1 Februari peralihan. Karena itu kan ada jeda waktu kami berikan untuk satu bulan," kata Yuliot Tanjung di Kementerian ESDM, Jumat (31/1).

Pemerintah beralasan penghapusan penjual eceran ini untuk memutus mata rantai yang membuat harga gas melon itu jauh di atas yang diatur pemerintah selama ini.

Imbas kebijakan tersebut, antrean panjang warga beli LPG 3 kg di pangkalan terjadi di beberapa tempat. Antrean panjang warga berburu LPG 3 kg terlihat di salah satu agen resmi di Sawangan, Depok, Jawa Barat yakni PT Internusa Jaya Sinergi Global.

Saleh, warga Cinangka, Sawangan, berdiri dalam antrean panjang pembeli demi dapat satu tabung gas bersubsidi.

Ia datang ke agen usai stok LPG 3 kg di warung sembako langganan kosong. Pemilik warung mengarahkannya untuk beli gas melon di agen resmi.

Ia menjelaskan antrean pembeli mengular lantaran banyak warga yang belum terdaftar sebagai penerima subsidi LPG 3 kg. Sementara, pembelian gas melon di agen dan pangkalan wajib menunjukkan KTP.

"Pakai KTP kalau belum daftar, makanya agak antre, banyak yang belum daftar," ujarnya Senin (3/1).

Lantas tepatkah langkah pemerintah melarang pengecer menjual LPG 3 kg?

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai ini langkah keliru karena pasti mempersulit masyarakat miskin mendapatkan LPG 3 kg. Selama ini mereka terbiasa mendapatkan gas dari warung.

Imbasnya, akan terjadi antrean panjang di agen resmi LPG 3 kg. Kondisi ini akan mengganggu pengguna LPG subsidi itu, terutama pedagang dalam menjalankan usahanya.

"Pastinya akan terjadi chaos, akan terjadi antrean yang tidak perlu. Efeknya fatal, berapa banyak pelaku usaha UMKM yang terpaksa berhenti jualan karena mengantre LPG kg, padahal pedagang kaki lima berhak mendapatkan LPG kg," katanya, Senin (3/2).

"Jadi ini skema subsidi yang tidak jelas sosialisasinya dan berbahaya sekali buat ekonomi masyarakat," sambungnya.

Bhima melihat aturan ini hanya cara pemerintah membuat masyarakat kesulitan mendapatkan subsidi.

Dengan begitu anggaran subsidi bisa dihemat. Alasan melarang warung jualan agar harga LPG 3 kg sesuai HET pun tidak masuk akal.

"Kalau warung hanya mengambil (untung) Rp2.000 per tabung, kenapa enggak boleh? Sebenarnya bukan soal harga, ini cara pemerintah agar subsidi sulit diakses sehingga bisa menghemat anggaran subsidi LPG 3 kg. Harga yang berbeda hanya alasan saja," imbuh Bhima.

Bhima juga memandang persyaratan yang ditetapkan Pertamina bagi pengecer yang ingin menjadi agen LPG 3 kg terlalu berat. Apalagi, pengecernya kebanyakan warung-warung kecil yang modal usahanya di bawah Rp20 juta.

Syarat tersebut, sambung Bhima, sama saja membunuh kesempatan warung menjadi agen LPG 3 kg. Padahal selama ini warung membantu penyaluran LPG 3 kg ke tempat-tempat terpencil. Pemerintah seharusnya tidak melarang pengecer, tetapi mendatanya sehingga bisa dipantau agar tepat sasaran.

"Jadi warung boleh (jual LPG 3 kg) tapi menggunakan skema aplikasi subsidi tepat sasaran. Bukan berarti warung tidak boleh jadi pengecer," katanya.

Direktur Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan langkah pelarangan ini memang ditujukan untuk membatasi konsumsi gas LPG 3 kg karena banyak rumah tangga mampu ikut menikmati subsidi. Namun, ia menilai sosialisasinya terlalu mendadak.

"Cukup mengherankan kenapa kebijakan terkait BBM dan LPG sering tampak mendadak bagi masyarakat dan tidak terasa cukup bertahap," katanya.

Apalagi, biasanya masyarakat sulit ke agen karena jaraknya jauh. Sementara itu syarat untuk pengecer menjadi agen tampak terlalu berat bagi warung-warung yang pendanaannya terbatas.

"Karena itu perlu ada jalan tengah antara keduanya, misal ada kepastian adanya agen LPG dalam radius jarak tertentu yang terjangkau masyarakat, dan tugas pemerintah lah memenuhi prasyarat tersebut," katanya.

Jika pemerintah ingin pelarangan tetap dilaksanakan, Putra menyarankan harus diatur kembali secara jelas dengan jangka waktunya dan dilakukan secara bertahap.

"Untuk jangka panjangnya, lebih serius penggunaan kompor listrik dan jargas juga sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG kg," katanya.

Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengatakan pemerintah berharap dapat menekan beban subsidi LPG 3 kg dengan larangan ini. Sebab, 68 persen konsumsi LPG 3 kg diperkirakan dinikmati kelas menengah atas, lalu sisa 32 persen adalah orang miskin.

"Karena LPG kita bergantung pada impor maka seiring kenaikan harga komoditas global, maka beban subsidi LPG 3 kg cenderung terus meningkat seiring kenaikan konsumsi. Maka mengendalikan konsumsi LPG 3 kg menjadi krusial bagi pemerintah untuk menekan subsidi LPG 3 kg," katanya.

Namun upaya pemerintah mengendalikan konsumsi LPG 3 kg dengan membatasi penjualan hanya oleh agen resmi Pertamina menurutnya adalah kebijakan yang sangat tidak berkeadilan serta tidak efisien. Ada dua alasan di balik penilaian Yusuf tersebut.

Pertama, dengan hanya bisa dibeli hanya di agen resmi Pertamina, maka akses konsumen ke LPG 3 kg akan menjadi sangat terbatas.

"Jumlah agen LPG di seluruh Indonesia hanya sekitar 260 ribu unit. Tentu jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan pedagang eceran yang selama ini melayani pembelian LPG 3 kg oleh konsumen yang umumnya adalah rumah tangga dan usaha mikro. Warung dan toko kelontong misalnya, yang selama ini menjadi pedagang eceran utama dari LPG 3 Kg, diperkirakan berjumlah lebih dari 3,9 juta unit," katanya.

Hal ini dinilai Yusuf sangat merugikan konsumen. Biaya mencari lokasi agen penjualan (searching cost) dan transportasi pulang-pergi ke lokasi agen yang lebih jauh (transaction cost) menjadi jauh lebih mahal.

Kedua, kebijakan membatasi penjualan LPG 3 kg hanya di tingkat agen juga berpotensi besar tidak efektif untuk mencapai target tepat sasaran. Syarat beli di agen resmi harus menyerahkan KTP atau KK untuk mencocokkan dengan data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Di sisi lain, konsumen banyak yang tidak tahu syarat KTP ini. Lagipula, agen juga tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pencocokan data.

Yusuf mengatakan seandainya kebijakan ini dipaksakan, maka dipastikan akan menghambat konsumen yang tidak membawa KTP atau bahkan tidak memiliki dokumen kependudukan resmi.

"Ditambah dengan biaya transaksi yang kini jauh lebih tinggi, hal ini akan men-discourage kelompok miskin yang seharusnya paling berhak atas LPG 3 Kg bersubsidi," katanya.

Seandainya pun berjalan, sambung Yusuf, pembatasan dengan mekanisme ini juga berpotensi tidak efektif karena basis data kemiskinan seperti DTKS masih banyak bermasalah.

Dengan data yang banyak masalah, maka Indonesia masih menghadapi isu lama yaitu tingginya angka exclusion error di mana orang miskin yang berhak tidak masuk dalam DTKS, serta angka inclusion error di mana orang tidak miskin masuk dalam DTKS.

Yusuf mengatakan kebijakan yang lebih efektif dan berkeadilan untuk menekan beban subsidi LPG 3 kg sebenarnya adalah dengan pembangunan jaringan gas untuk rakyat secara masif. Pipanisasi gas akan menghasilkan efisiensi yang signifikan dalam distribusi LPG ke masyarakat dibandingkan melalui tabung gas seperti selama ini.

Yusuf mengatakan setidaknya akan ada tiga keuntungan besar yang diraih dari pipanisasi gas. Pertama, harga beli lebih masyarakat lebih murah, baik untuk LPG 3 kg maupun non-subsidi. Kedua, beban APBN untuk subsidi LPG berkurang. Ketiga, ketergantungan pada impor LPG turun. Hal ini sekaligus menghemat devisa yang akan mengokohkan stabilitas kurs rupiah.

"Andai pemerintah serius membangun pipa jalur distribusi dan pemasaran gas untuk konsumsi domestik disertai peningkatan kapasitas kilang, kita berpotensi menghasilkan efisiensi dan manfaat ekonomi yang signifikan dari turunnya marjin pengangkutan dan harga gas. Namun kita lebih suka mengimpor LPG. Hanya mafia impor gas yang tidak menghendaki adanya reformasi pipanisasi gas dan pembangunan jaringan gas untuk rakyat ini," katanya.

Akhirnya, Mulai Hari Ini LPG 3 Kg Kembali Dijual di Pengecer

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali membolehkan penjualan gas liquefied petroleum gas atau LPG bersubsidi 3 kilogram (kg) di tingkat pengecer.

Menurut Ketua Harian Partai Gerindra itu, bakal ada aturan yang menertibkan harga jual LPG 3 kg.

"Presiden kemudian telah menginstruksikan kepada ESDM untuk per hari ini mengaktifkan kembali pengecer-pengecer yang ada untuk berjualan seperti biasa," kata Dasco di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/2).

"Sambil kemudian pengecer-pengecer itu akan dijadikan sub daripada pangkalan, sub daripada pangkalan sehingga dengan aturan-aturan yang ada nanti akan menertibkan harga supaya tidak mahal di masyarakat," lanjutnya.

Ia menuturkan langkah tersebut diputuskan Prabowo setelah melihat situasi dan kondisi di lapangan. Sejak Kementerian ESDM menerapkan aturan LPG 3 kg hanya bisa dibeli di pangkalan resmi Pertamina pada 1 Februari 2025, masyarakat kesulitan dapat tabung gas melon tersebut.

"Melihat situasi dan kondisi tadi Presiden turun tangan untuk menginstruksikan agar para pengecer bisa berjalan kembali sambil kemudian pengecer itu dijadikan sub pangkalan. Administrasi segala macamnya bisa sambil berjalan saja," ucap Dasco.

Dasco juga memastikan tak ada kelangkaan stok LPG 3 kg. "Stok tidak langka, stok ada, stok terkonfirmasi tidak langka," katanya.

Mulai 1 Februari 2025, Kementerian ESDM menerapkan pembelian LPG 3 kg tidak lagi dapat dilakukan di tingkat pengecer, tapi sepenuhnya hanya bisa di pangkalan resmi Pertamina. Akibatnya, warga kesulitan mendapatkan tabung gas dan harus mengantre panjang di pangkalan.

Kementerian ESDM kemudian sempat merumuskan solusi, salah satunya menjadikan pengecer sebagai pangkalan resmi jika bisa memenuhi sejumlah syarat dan ketentuan yang ditetapkan.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyampaikan pengecer LPG 3 kg wajib mendaftarkan diri untuk menjadi pangkalan.

Pemerintah memberikan waktu satu bulan bagi pengecer untuk mendaftarkan usahanya menjadi pangkalan resmi penjual LPG 3kg. Dengan demikian, pada Maret 2025, pemerintah menargetkan penghapusan pengecer elpiji 3 kg.(han)