‘Mencari Kesesuaian: Mengapa Lulusan Sering 'Banting Stir'
Oleh: Ichi Ahada, M.M, M.Pd

Artikel opini kali ini didasari pertemuan dan perbincangan dengan salah satu mahasiswa yang telah lulus lalu lanjut dengan scroll vt tiktok dan instagram dan ternyata serupa. Banyak sekali contohnya dan yang biasa terjadi yaitu lulusan kompetensi keahliannya apa namun banting stir berbeda ketika kembali ke masyarakat setelah lulus (kuliahnya ambil jurusan apa, lulus kerjanya malah bidang lain). Seperti tidak serius dengan mengenyam bangku kuliah, sampai saya mendengar beberapa mahasiswa dan sampai hapal dengan template kata kata mereka “yang penting kuliah”, “bersyukur bisa kuliah”, dan lain sebagainya seperti tidak sepenuh hati kuliahnya.
Sampai setiap saya masuk ke kelas mahasiswa baru saya biasanya selalu bertanya tujuan mereka, benarkah mau menjadi guru bahasa inggris?
Mengapa terjadi banyak hal yang ‘blunder’ seperti ini? apakah ketika pemilihan jurusan mereka awalnya tidak sesuai dengan hati nurani? Dari sekitar kita banyak sekali contohnya lulusan guru tetapi ketika lulus tidak mau menjadi guru, dan bahkan yang bukan lulusan keguruan justru memilih untuk menjadi pengajar.
Apakah ada yang memperhatikan dan melihat hal ini dan melakukan pendalaman terhadap hal ini agar kita bisa ambil pelajaran? Karena nampak sekali faktanya banyak bukan satu dua orang disekitar kita yang tidak sesuai jurusannya. Apakah ini adalah sebuah kesalahan karena kita, ataukah memang sistem pendidikan kita ada yang salah, atau individunya yang ‘blunder’ saat diawal mereka masuk ke jurusan yang mungkin tidak sesuai minat dan bakat? Apakah hal ini bahkan sudah kita normalisasikan dan kita terima begitu saja? Dan apakah setiap negara lain pun sama halnya seperti ini ataukah hanya di negara kita saja? dan berapa presentase ‘blunder’nya pada pemuda itu ketika selesai pendidikan dalam mencari kerja mereka juga tepat dalam penempatan? Adakah yang meneliti negara mana memiliki prosentase besar yang para pemudanya bekerja sesuai dengan keahliannya?
Bukankah kita harus belajar dengan negara yang berhasil menghubungkan pendidikan dengan dunia kerja, memungkinkan lulusan para pemuda untuk lebih mudah menemukan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Banyak sekali keingintahuan saya terhadap hal ini, sehingga muncul banyak pertanyaan begini membuat saya berpikir kenapa dan kenapa.
Apalagi sekarang banyak para pemuda yang malah bekerja online menjadi youtuber, selebgram, tiktoker bahkan beralih ke market digital lainnya yang disupport oleh digital platform seperti adsense maupun digital marketing padahal kuliahnya gak kearah itu. Namun yang mau dibahas kali ini diluar konteks pemahaman sekarang tentang era digital dimana segala aktivitas seperti belajar, berdagang, berolahraga, bahkan hiburan pun digital. Kalau ini sih kita juga melakukannya, bahkan kita dosen pun ada yang sembari menjadi youtuber dan membuat konten mengajar atau keseharian kampus.
Kurangnya korelasi antara bidang studi seseorang dan kariernya adalah masalah rumit yang memerlukan penyelesaian oleh berbagai pemangku kepentingan. Mengambil pendekatan holistik mulai dari pembentukan karakter hingga bekerja sama dengan industri akan memungkinkan kita mengembangkan sistem pendidikan yang lebih responsif terhadap permintaan pasar kerja. Selain itu, sangat penting bagi setiap orang untuk memahami minat pribadi mereka dan menargetkan jalur karier yang sesuai dengan minat, bakat dan keterampilan mereka.
Dengan cara ini, kita tidak hanya menciptakan lulusan yang siap kerja, tetapi juga generasi yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Perguruan Tinggi seharusnya dapat memberikan panduan karier yang lebih mudah dipahami dan sumber daya yang sesuai dengan topik untuk mahasiswa. Konselor karier harus siap membantu mahasiswa dalam menjelajahi opsi karier berdasarkan program gelar mereka dan tren serta prospek pekerjaan di bidang tertentu. Dengan panduan yang tepat, mahasiswa akan dapat membuat keputusan yang lebih terinformasi terkait jalur karier mereka.
Institusi pendidikan tinggi harus meningkatkan kualitas atau lebih tepatnya memperluas cakupan layanan konseling karir. Nampaknya konseling karir sejak dini sangat berpengaruh. Atau bisa jadi itu dimulai dari sedini mungkin dari orangtua. Kita mengetahui bahwa beberapa negara maju sudah menerapkan hal ini.
Dari kesadaran orang tua atau guru dibangku sekolah sudah memberikan arahan pada masing masing minat dan bakat anak. Ada kebutuhan nyata untuk setiap sekolah memiliki konselor karir untuk membantu anak anak sebelum menjadi mahasiswa dalam mengidentifikasi dan menyediakan informasi yang relevan tentang prospek karir mereka yang selaras dengan jurusan dan arahan industri serta peluang kerja. Pedoman yang memadai akan memungkinkan mahasiswa untuk membuat pilihan yang lebih bermakna sehubungan dengan jalur karir mereka. Jadi bukan karena paksaan orang tua. Aneh juga kan kalau orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi profesi tertentu misalnya dokter tapi si anak tidak sepenuh hati menjalankan pilihan tersebut, saya jadi ingat kasus ‘Lady’, kasus pemukulan kolega kerjanya perihal ‘tukar jaga’ yang sempat viral itu.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah ketidaksesuaian antara jurusan dan karir adalah melalui proses memperkenalkan pengembangan karakter dan penilaian keterampilan di usia yang lebih muda. Saya melihat dibeberapa negara maju yang sangat serius menangani hal ini, suka balet sejak kecil sekolah balet, atau sekolah bola sejak usia dini, minat pada robotika sejak kecil, minat akting dan teater, menjadi penulis, atau jadi professor jamur yang sejak kecil suka hal hal botanika, sampai dia tahu jenis jamur yang bisa dimakan, yang beracun, yang jenis baru, yang langka, yang punah, yang bisa buat kosmetik, bisa untuk obat, jamur yang hanya tumbuh dimusim ini dan itu.
Bisa dilihat kita ‘start point-nya terlambat. Selain Sekolah harus memungkinkan siswa untuk mencoba mengembangkan minat mereka melalui kegiatan ekstrakurikuler, magang, atau program pengembangan keterampilan. Pemerintah seharusnya juga bisa mengakomodir dan sebagai orang tua pun tidak memaksakan kehendak dan mahasiswa pun tidak salah jurusan dan apapun alasannya. Dengan cara ini, siswa dapat memiliki penguasaan yang lebih baik atas keterampilan dan minat mereka sebelum mendaftar di perguruan tinggi.
Semoga saja tulisan ini bisa sedikit menelaah tentang apa saja yang bisa kita lakukan (sesuai tugas kita masing-masing – sebagai orang tua, pengajar, pemerintah, sekolah/institusi perguruan tinggi) untuk perbaikan tentang hal ini. (****)
Penulis Ichi Ahada, M.M, M.Pd. Seorang Dosen Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman.