Para Profesor dan Profesional

Oleh: Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi, M.A

Jan 10, 2025 - 18:05
Para Profesor dan Profesional

Artikel ini terinspirasi dari percakapan para kolega, di sebuah grup WhatsApp tentang peran guru besar di Indonesia. Salah satu isi chat yang menjadi topik perbincangan adalah merespons sebuah media online tentang pidato Wamenkemendikti Saintek berikut ini:

“Semoga terwujud. Sudah saatnya lepas dari penjajahan terselubung oleh Scopus. Guru besar kontribusinya harus ke masyarakat banyak. Bisa ke lokalnya atau ke negaranya atau ke luar negeri dan tidak hanya terkungkung dalam artikel jurnal yg dibaca hanya oleh beberapa orang”

Isi percakapan tersebut mengusik penulis untuk turut menuangkan gagasan mengenai peran guru besar di Indonesia. Menarik untuk dibahas eksistensi para maha guru, meskipun konsepnya masih bersifat idealis imajinatif.

Kebetulan topik ini berhubungan dengan diskusi ringan menjelang pengusulan draft Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Futuristik Tertulis (PKM GFT) bersama satu tim mahasiswa. Apa yang penulis akan paparkan merupakan sempalan dari diskusi ringan itu. Guru besar ada di segmen pendidikan formal tingkat ahli. Sophisticated level yang mengemban tanggung jawab dua sisi mata uang.   

Baiklah, penulis mengawalinya dengan kegelisahan yang memicu asumsi bahwa peristiwa memprihatinkan yang terjadi akhir-akhir ini dapat diselesaikan dengan pendidikan. Pendidikan mesti menjadi pusat pergerakan perubahan baik pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan sosial, dan pendidikan formal.

Pembaca masih ingatkah dengan kejahatan seksual, perundungan, kriminalitas, dan penghilangan nyawa yang beredar di media? Bagaimana dengan skandal dan mafia? Semuanya mencengangkan, menyedot perhatian, dan sangat memprihatinkan, bahkan shocking. Apa yang sedang terjadi di negara ini? Ada apa dengan oknum-oknum ini? Mengapa kengerian yang menjijikkan terjadi? Bagaimana semua ini dilakukan? Ini benar-benar mengerikan.

Sebagai viewer platform YouTube, penulis dan tim mahasiswa hanya menonton saja selama ini. Berita-berita tersebut biasanya sekadar lewat saat killing time, masuk lewat telinga kanan bablas keluar lewat telinga kiri. Namun, lama-lama ada kegelisahan yang mengganggu. Bagaimana jika perilaku tidak terpuji ini mampir di layar gawai generasi Z? Jangan-jangan semua ini justru menjadi  memicu tindakan serupa suatu saat nanti. Bukankah semua ini bisa menjadi inspirasi kejahatan? Siapa yang salah?

Mencari jawabannya seperti berputar di lingkaran setan. Lingkaran setan memang istilah hiperbolik yang mampir di pikiran penulis. Dalam rasa keprihatinan mendalam ini penulis mengajak tim mahasiswa bermenung mencari sumber penyebab dan sumber penyelesaian. Ketemulah sumbernya, yakni pendidikan. Ada yang salah dengan pendidikan dan bagaimana solusinya pada  pendidikian kita. Inilah gagasan itu.

Pada segmen pendidikan formal tingkat Perguruan Tinggi, ada gagasan untuk mengefektifkan dan mengefesiensikan materi serta waktu studi. Penulis dan tim mempunyai gagasan memangkas masa studi pada pendidikan formal dari dasar sampai pendidikan tinggi, sehingga doktor dapat diraih pada usia 23 tahun (studi tanpa jeda). Ini mengakibatkan masa kerja para doktor menjadi lebih panjang karena di dalamnya ada masa “asistensi” para doktor junior di bawah guru besar.

Calon mahasiswa doktoral diwajibkan mempunyai pengalaman di bidang keahliannya minimal 2 tahun (jika bukan fresh graduate). Berbekal pengalaman di lapangan, calon mahasiswa sudah mampu menyusun rencana invention track record yang ingin diraih selama studi. Mengingat program doktoral ini masuk dalam kategori menghasilkan ahli, maka mahasiswa wajib di lapangan selama 2 tahun dan 1 tahun untuk menyusun laporan akhirnya. Dalam waktu 2 tahun di lapangan, mahasiswa dituntut mematangkan konsep dan teori dari data yang ditemukan di lapangan. Di situ, antara konsep yang telah terpetakan sampai tataran paradigma diharapkan akan melahirkan konsep baru atas temuan dari penelitiannya. Kematangan seorang doktor ini akan dibawa ke mahasiswa dan masyarakat, sehingga pada waktu memperoleh anugerah menjadi guru besar, ia menjadi guru besar yang utuh. Ia menjadi maha guru.

Eksistensi guru besar yang dipanggil profesor, setara dengan para praktisi yang disebut profesional. Mengapa para profesor dan profesional harus dilibatkan dalam pendidikan? Ini karena adanya sistem baru, yaitu “Wajib Mengedukasi”. Wajib Mengedukasi merupakan kewajiban mengembalikan fasilitas negara selama mengenyam pendidikan formal yang ditanggung negara.  

Kapan masa “Wajib Mengedukasi?” Ketika para profesor sudah selesai mengajar dan profesional sudah selesai urusan kantor, bagaimana mereka mengisi masa pensiun? Inilah saatnya, mereka  memberikan social benefits, saatnya “Wajib Mengedukasi” dijalankan. Wajib Mengedukasi, dengan demikian kami samakan dengan istilah Wajib Militer.

Melalui “Wajib Mengedukasi, profesor dan profesional akan mengabdikan dirinya dengan memberi edukasi pada segmen-segmen pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, sosial, dan formal tingkat dasar-menengah. Para profesor dan profesional mempunyai kapasitas, relasi, dan keahlian yang mumpuni. (Salah satu gambaran pemikiran komprehensif terbahas pada sebuah seminar bertema Asta Nota: Refleksi 2024 Majelis Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri ber-Badan Hukum hari Senin, 30 Desember 2024. Kebetulan momen ini nyambung dengan kutipan di awal artikel ini). Spesifikasi keahlian ini dapat dimanfaatkan untuk membuat solusi dan mengatasi masalah yang ada di masyarakat bahkan inovasi dan kreativitas.  

Pada segmen pendidikan keluarga, profesor dan profesional turun ke lapangan memetakan permasalahan dan merumuskan pemecahan masalah. Misalnya, mengatasi anak-anak ketergantungan gawai pada tayangan yang remeh-temeh. Mencari alternatif kegiatan mengajarkan bertata-krama, beretika, berperilaku, dan berkomunikasi dengan rasa hormat di hadapan orang tua dan famili; dan hal-hal dasar dalam hubungan anak-orang tua dan saudara.  

Pada segmen pendidikan sosial, profesor dan profesional dapat meleburkan dirinya pada institusi atau komunitas sebagai volunteer pemecah masalah dan pemicu progres. Misalnya, menggabungkan diri dalam komunitas pedagang asongan untuk mengedukasi bagaimana menjadi penjual yang menarik pelanggan dan memelihara kesetiaan pelanggannya. Tinggal di desa-desa untuk mengedukasi masyarakat bagaimana merawat sungai dan mengoptimalkan lahan bagi kebutuhan pangan penduduk; dan sebagainya.

Pada segmen pendidikan dasar dan menengah, profesor dan profesional mengedukasi para pengelola, pengajar, dan peserta didik. Misalnya, melatih dan membimbing pengajar mengelola emosi dan psikologi peserta didik untuk menemukan gaya belajar atau kemampuan bidang studi. Menciptakan pendekatan, metode, dan teknik mengajar ilmu eksakta dan social. Mengedukasi pengelola mengembangkan institusi sekolahnya, baik sekolah negeri maupun swasta; dan seterusnya.  

Kehadiran mereka ini merupakan bentuk “ada” untuk negara. Bahwa di wilayah yang terendah dan terpencil pun ada para cerdik cendekia yang bersama pemerintah membersamai rakyat. Masyarakat teredukasi dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Edukasi yang berhasil akan menciptakan generasi bermartabat, generasi cerdas seutuhnya, dan “generasi emas”. Dengan begitu, kehadiran profesor dan profesional adalah teladan bagi generasi muda. Generasi muda akan untuk melakukan  hal yang sama, yakni menumbuhkan nasionalisme, memelihara persatuan, menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Teladan ini berdampak besar bagi anak-anak Indonesia untuk menempuh pendidikan dan berbuat banyak untuk Indonesia. Para profesor dan profesional menjadi sumber inspirasi mereka. Kelak, generasi muda akan mengisi siklus perputaran ‘Wajib Mengedukasi’ di negara ini. Mereka akan menjadi profesor dan profesional yang utuh. Menjadi maha guru, harus memiliki kontribusi lebih banyak ke masyarakat, baik ke masyarakat lokal, negara atau pun ke luar negeri. Dengan begitu, apa yang tertera dalam kutipan pidato Wamenkemendikti Saintek menjadi gagasan dan cita-cita ideal yang selaras dengan kedalaman asa penulis dan tim. Meskipun gagasan kami seperti gagasan yang mungkin sulit direalisasikan, tetapi semoga dapat menggerakkan pembaca ke dalam atmosfer berpikir yang sama. Pendidikan yang baik adalah pintu gerbang tatanan berkehidupan yang baik pula. (****)

Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi, M.A adalah dosen Universitas PGRI Madiun dan Pengurus PISHI. Disunting oleh Dr. Umi Salamah, M.Pd, dosen PPG Universitas Insan Budi Utomo Malang, Pengurus PISHI.