Saling Tuding Mendag dan Menkeu Penyebab Minyakita Mahal

"Ternyata, kayaknya, salah satu tantangan BUMN Pangan mengapa agak susah untuk melakukan distribusi Minyakita ini adalah karena mereka itu membutuhkan relaksasi wajib pungut," bebernya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2025 di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (13/1).

Jan 14, 2025 - 07:53
Saling Tuding Mendag dan Menkeu Penyebab Minyakita Mahal
Foto: CNNIndonesia.com

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencari 'kambing hitam' di balik kegagalannya menurunkan harga Minyakita yang sudah ugal-ugalan di pasar.

Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kemendag mencatat harga minyak goreng rakyat itu tembus Rp17.400 per liter. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah adalah Rp15.700 untuk setiap liter Minyakita.

Staf Ahli Bidang Manajemen dan Tata Kelola Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan mengira-ngira penyebab mahalnya harga adalah wajib pungut yang ditetapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurutnya, wajib pungut membuat BUMN Pangan kesulitan melakukan distribusi.

"Ternyata, kayaknya, salah satu tantangan BUMN Pangan mengapa agak susah untuk melakukan distribusi Minyakita ini adalah karena mereka itu membutuhkan relaksasi wajib pungut," bebernya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2025 di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (13/1).

Wajib Pungut adalah pihak yang ditunjuk oleh Kemenkeu untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN atas transaksi yang terjadi, salah satunya BUMN. Sederhananya, wajib pungut berperan sebagai pemungut pajak dari pihak yang menyediakan barang atau jasa.

Dasar hukumnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN atau PPnBM oleh BUMN dan Perusahaan Tertentu yang Dimiliki secara Langsung oleh BUMN sebagai Pemungut PPN.

Kata Iqbal, Menteri Perdagangan Budi Santoso sampai bersurat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani pada awal Januari 2025. Harapannya, sang Bendahara Negara itu bisa memberikan relaksasi wajib pungut.

Iqbal mengklaim langkah ini bakal berkontribusi dalam menekan harga Minyakita. Namun, tidak ada data empiris soal berapa kontribusi wajib pungut terhadap lonjakan harga minyak goreng di pasaran.

"Ini kami anggap sekiranya hal ini dapat diamini atau dikabulkan oleh Kementerian Keuangan, pertama tentu saja akan dapat memperpendek rantai distribusi," ucap Iqbal.

"Ketika itu terjadi (relaksasi wajib pungut), seharusnya itu bisa membantu lebih banyak dalam kontribusi stabilisasi harga jual Minyakita sesuai HET," sambungnya.

Ucapan staf ahli tersebut berbeda dari apa yang diungkapkan Mendag Budi pada November 2024 lalu. Di hadapan Komisi VI DPR RI, ia blak-blakan rantai distribusi yang panjang adalah biang kerok lonjakan harga Minyakita.

Padahal, Budi menekankan ada amanat yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2024. Distribusi Minyakita seharusnya hanya berasal dari produsen, distributor 1 (D1), D2, lalu pengecer.

"Namun, di lapangan ini ada terjadi beberapa transaksi (penjualan Minyakita) dari pengecer ke pengecer," ungkap Budi soal penyebab harga Minyakita melonjak drastis.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda dibuat heran dengan penjelasan Kemendag yang mencla-mencle. Ia dengan jelas mencium adanya upaya mengaburkan penyebab sebenarnya.

Huda menjelaskan konteks wajib pungut dalam kasus ini adalah BUMN Pangan mendapatkan mandat memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari produsen Minyakita. Lalu, pungutan itu disetorkan langsung kepada negara.

"Selama ini, wajib pungut digunakan untuk mengamankan penerimaan negara agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang menjual barang ke pemerintah, baik (ke) kementerian/lembaga (K/L) ataupun BUMN," jelasnya dikutip dari CNNIndonesia.com.

Ia lantas mempertanyakan rasionalisasi Kemendag menuduh wajib pungut sebagai kendala distribusi Minyakita. Menurutnya, tak ada korelasi antara BUMN Pangan menjadi wajib pungut dengan memperpendek rantai distribusi.

"Saya menduga ini sebagai 'kambing hitam' saja dari kinerja Kemendag yang gagal menurunkan harga Minyakita ke level HET," tegas Huda.

Sang ekonom justru seirama dengan penjelasan Menteri Perdagangan Budi Santoso pada akhir tahun lalu. Huda menilai biang kerok sesungguhnya harga Minyakita sulit ditekan adalah terlalu banyak middleman.

Nailul Huda menyoroti betapa banyaknya perantara dalam distribusi minyak goreng rakyat. Hal tersebut persis dengan identifikasi mendag beberapa waktu belakangan.

"BUMN Pangan tidak punya infrastruktur yang kuat untuk memotong rantai distribusi tersebut," ucapnya menyayangkan.

"Seharusnya BUMN Pangan bisa menjadi ujung tombak penjualan Minyakita secara langsung ataupun (melalui) kerja sama dengan BUMD," imbuh Huda.

Direktur Next Policy Yusuf Wibisono membongkar penyebab asli mengapa harga Minyakita terus merangkak naik. Alasannya, produsen swasta sengaja mengurangi pasokan.

Ia menegaskan gejolak harga Minyakita selama ini berakar dari masalah skema pasokan yang berbasis domestic market obligation (DMO). Ketersedian produk yang tidak stabil pada akhirnya mengerek harga minyak.

"Pasokan dan harga Minyakita yang sering tidak stabil menurut saya terjadi karena produsen swasta memang mengurangi produksinya, sehingga pasokan di pasar terbatas," beber Yusuf.

"Produsen swasta menurunkan produksi Minyakita karena tidak cukup insentif bagi mereka memproduksi, di tengah ekspor crude palm oil (CPO) yang kini harganya cenderung lesu," tambahnya.

Berbeda dengan Kemendag, Yusuf punya alasan kuat mengapa memproduksi Minyakita tak menarik bagi produsen. Pertama, harga ekspor CPO sekarang ini sedang rendah. Fakta tersebut membuat hak mengirim minyak kelapa sawit ke luar negeri setelah memproduksi Minyakita menjadi imbalan yang tidak seksi bagi pengusaha.

Kedua, ekspor CPO dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor. Harga yang lesu di pasar global ditambah sejumlah kewajiban tersebut malah membuat produsen merugi.

"(Harga CPO lesu) seiring melemahnya permintaan dunia akibat resesi global. Ditambah, UU Anti-Deforestasi dari Uni Eropa dan kebijakan substitusi minyak nabati di India. Ekspor CPO Indonesia cenderung melemah," tegasnya.

"Titik kritis kebijakan DMO Minyakita dengan imbalan hak ekspor CPO adalah harga CPO yang tinggi. Ketika kini harga CPO cenderung tertekan, (hak) ekspor tidak lagi menjadi insentif yang menarik," sambung Yusuf.

Sebaliknya, Yusuf menyarankan pemerintah segera melakukan reformasi kebijakan. Ini ditempuh agar ekspor CPO bisa terus terjaga kondusif.

Sedangkan bea keluar dan pungutan ekspor CPO bisa dipakai untuk biaya subsidi produksi minyak goreng rakyat alias Minyakita. Ia menegaskan pendapatan dari ekspor CPO memang seharusnya fokus digunakan untuk kepentingan rakyat.

Ia menyoroti bagaimana pemerintah selama ini keliru mengelola dana pungutan ekspor di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Yusuf mengatakan pemerintah salah kaprah, yakni memakai lebih dari 80 persen dana tersebut untuk subsidi biodiesel.

"Seharusnya pendapatan dari ekspor CPO digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, yaitu subsidi peremajaan lahan sawit rakyat dan subsidi minyak goreng sawit domestik, terutama untuk masyarakat miskin," saran Yusuf.

"Bahkan, dana pungutan ekspor CPO ini seharusnya digunakan untuk mendukung koperasi-koperasi petani sawit agar mereka memiliki pabrik CPO dan pabrik minyak goreng sendiri. Dengan demikian, ke depan pasokan minyak goreng rakyat tidak hanya dari produsen besar swasta, juga dari produksi petani rakyat melalui koperasi," imbuhnya.

Akan tetapi, Yusuf menilai sah-sah saja jika Minyakita ingin dibebaskan dari kewajiban PPN dengan tarif 11 persen. Asalkan dana pungutan ekspor CPO benar-benar diprioritaskan untuk subsidi produksi dan distribusi Minyakita.

Ia menyarankan PTPN melalui PalmCo ditugaskan untuk memproduksi Minyakita. Sedangkan Bulog menjadi pihak yang mendistribusikan minyak goreng rakyat tersebut ke seluruh Indonesia.

Yusuf yakin PTPN dan PalmCo memiliki kapasitas untuk memproduksi seluruh kebutuhan Minyakita secara nasional. Begitu pula Bulog yang punya pengalaman menyalurkan komoditas penting bersubsidi ke penjuru tanah air, terutama beras untuk rakyat miskin.

"PTPN harus didukung dengan subsidi yang memadai untuk memproduksi Minyakita, demikian pula Bulog membutuhkan dukungan untuk menyalurkan ke masyarakat dengan harga yang terjangkau, termasuk membebaskannya dari PPN," tutup Yusuf.(han)