Self-Leadership, Fondasi Dosen Mendidik Karakter
Oleh Antono Wahyudi, S.S., M.Fil.

Bukankah menjadi Dosen sudah dengan sendirinya memiliki kendali terhadap mahasiswa dan itu berarti merupakan suatu kepemimpinan? Memang benar, kepemimpinan membutuhkan kekuasaan dan Dosen jelas memilikinya. Meskipun demikian, kepemimpinan itu lebih dari sekedar kekuasaan. Kepemimpinan sangat luas dimensinya dan karenanya tak dapat direduksi pada satu aspek saja.
Akan menjadi berbahaya jika seorang dosen hanya memandang kepemimpinannya sebatas kekuasaan. Akibatnya, "relasi kuasa" yang dikedepankan. Implikasi logis dari relasi kuasa ini bisa menimbulkan berbagai macam masalah. Eksploitasi mahasiswa dalam berbagai aspek akan muncul, misalnya mulai dari persoalan kepentingan diri seperti peningkatan jabatan akademik hingga persoalan yang menyentuh kemanusiaan seperti kekerasan seksual.
Atas dasar itu, penting bagi Dosen untuk mempelajari, memahami, dan menerapkan kepemimpinannya secara utuh dan menyeluruh. Kepemimpinan merupakan suatu kata kerja yang bermakna luas. Penulis melihatnya sebagai "kata kerja" karena kepemimpinan akan menjadi sia-sia jika berhenti pada wilayah teoretis. Implementasi dalam hal ini menjadi syarat utama yang memungkinkan suatu kepemimpinan.
Sebelum anda memimpin orang lain, anda harus mampu memimpin diri sendiri. Sebelum memimpin mahasiswa, seorang Dosen hendaknya menunjukkan dan membuktikan dirinya mampu memimpin dirinya sendiri. Setidaknya, dirinya sedang berproses di dalam menumbuhkan dan mengembangkan apa yang disebut dengan self leadership. Pada titik ini, self-leadership menjadi fondasi di dalam membangun kepemimpinan.
Terdapat sekurang-kurangnya empat komponen self-leadership. (1) Visi sebagai destinasi final. (2) Tujuan (goal) sebagai "terminal" yang menghubungkan antara anda dengan destinasi final anda (visi). (3) Perencanaan (pathways) sebagai “jalan” yang dilalui, dan (4) motivasi (agency) sebagai “kendaraan” yang mana anda adalah pengendaranya. Pada akhirnya, keempat komponen ini digunakan untuk dapat mendidik mahasiswa melalui penerapan pendidikan karakter.
“VISI” SEBAGAI DESTINASI FINAL
Mungkin anda akan bertanya, bukankah visi itu sama dengan tujuan? Tentu ada perbedaan antara visi dan tujuan. Visi menekankan pada kondisi ideal yang belum terjadi. Kondisi ideal memaksudkan keadaan yang diinginkan atau diimpikan. Kondisi ideal ini dapat disebut sebagai visi bilamana memenuhi sekurang-kurangnya dua syarat.
Syarat pertama adalah ketika visi itu bersifat inklusif. Artinya, visi bukanlah suatu keadaan yang ditujukan atau dimanfaatkan untuk semata kepentingan diri sendiri, melainkan bersifat terbuka untuk menjawab kebutuhan dan manfaat orang lain. Dengan kata lain, visi adalah suatu kondisi yang mejelaskan kebutuhan, aspirasi, mimpi, dan bahkan kebahagiaan orang lain. Dalam konteks sebagai Dosen, visi dimaksudkan untuk pencapaian kondisi ideal tatanan sosial yang disebabkan oleh peranan mahasiswa sebagai agen perubahan.
Syarat kedua adalah ketika visi dapat bekerja secara kontekstual. Visi dapat dikatakan sebagai visi bilamana itu selalu relevan di dalam segala bentuk perubahan sosial yang terjadi. Perubahan sosial apapun baik secara politis, sosio-budaya, ekonomi maupun historis, visi masih tetap sama dan tentunya dibutuhkan. Pendek kata, visi itu tak lekang oleh waktu.
"Menjadi bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdulat, adil dan makmur" adalah merupakan visi NKRI (yang tercantum di dalam alinea ke dua preambule UUD 1945). Visi ini merupakan destinasi final yang telah memenuhi kedua kriteria di atas, yaitu inklusif (menjawab kebutuhan semua masyarakat Indonesia) dan kontekstual (apapun dan bagaimanapun narasi visi tidak akan berubah bila terjadi perubahan bentuk budaya, politik, sosial dan sebagainya).
Jadi, di dalam self-leadership, seorang Dosen perlu memiliki "visi" yang inklusif dan kontekstual. Dan, nantinya dapat berkorelasi dengan passion-nya. Passion di sini tentu memiliki lebih dari satu unsur yang salah satunya adalah visi. Mengapa Dosen perlu memiliki visi? Setiap manusia yang terlahir di bumi perlu memiliki visi agar hidupnya memiliki arah yang bermakna.
Arah destinasi ini penting untuk dimiliki oleh seorang Dosen. Sebab, bagaimana bisa seorang Dosen menumbuhkan kesadaran mahasiswa di dalam menciptakan arah hidup jika dirinya sendiri tidak memiliki arah hidup, dirinya sendiri tidak memiliki visi hidup. Bagaimana mau memimpin mahasiswa jika dirinya tidak memiliki kesadaran di dalam memimpin dirinya?
“TUJUAN” SEBAGAI TERMINAL
Jika visi adalah destinasi kondisi ideal yang belum terjadi, maka tujuan (goal) adalah "terminal" yang dibangun agar dapat memperjelas roadmap menuju visi. Mengapa analogi yang digunakan itu adalah "terminal" dan bukan destinasi final (visi)? Pertama, visi adalah destinasi final yang tidak dapat diukur kapan dan berapa lama anda akan sampai. Jika dapat diukur, maka itu bukanlah suatu kondisi ideal. Dengan kata lain, tidak mungkin di dalam dunia kehidupan ini idealitas (utopis) itu dapat tercapai, bukan? Tidak ada yang pasti dan sempurna dalam hidup.
Lantas, buat apa memiliki visi yang tak mungkin tercapai? Jawabannya sederhana. Agar anda dapat terus menjalani hidup dengan bernilai dan bermakna. Sebaliknya, jika visi itu dapat tercapai, maka anda akan selesai dan berhenti untuk berjalan lantas tidak meneruskan perjalanan hidup. Berhenti dan selesai dalam berproses sebagai manusia yang bernilai dan bermakna. Artinya, anda tidak lagi menjadi manusia yang bernilai dan bermakna. Untuk apa jadi Dosen? Untuk apa hidup?
Kedua, "terminal" adalah pemberhentian sementara (temporary-ending). Oleh sebab itu bangunlah beberapa "terminal" yang berkesinambungan hingga mendekat atau mengarah (terhubung) pada visi. Dengan demikian, seorang Dosen hendaknya membangun titik-titik terminal yang saling terhubung satu dengan lainnya hingga mengarah dan mendekat pada visi.
Bagaimana merumuskan tujuan? Anda dapat menciptakan tujuan dengan imajinasi yang jelas apa dan di mana (seberapa jauh) terminal yang akan dibangun. Imajinasi atas “terminal-terminal” tersebut digambarkan melalui berbagai macam cara. Mulai dari brainstorming hingga refleksi diri, menimbang tujuan-tujuan apa yang perlu, bahkan tujuan yang sudah (atau pernah) ada sekalipun, mana yang perlu dikuatkan dan ditingkatkan, mana yang penting (prioritas) dan tidak, esensial dan tidak, serta jangan lupa apakah relevan dan mengarah pada visi.
Apakah dengan demikian tujuan itu pasti akan tercapai? Ketercapaian atau hasil bukanlah kendali atau kuasa manusia. Kendali anda hanya pada upaya dan usaha yang anda lakukan. Jika visi anda misalnya adalah “menjadikan generasi muda berkarakter dalam kesadaran membaca”, maka salah satu tujuan (goal) yang dapat ditentukan adalah meningkatkan partisipasi generasi muda untuk membaca melalui program Satu Buku Satu Semester.
"Meningkatkan partisipasi" dalam hal ini merupakan salah satu “terminal” yang perlu dibangun atau tujuan yang dapat diukur. Apakah hasilnya akan membuahkan pembentukan karakter melalui membaca? Tentu bukan kendali atau kuasa Dosen untuk menentukannya. Tetapi yang terpenting adalah tujuan anda (di dalam meningkatkan partisipasi membaca) telah mengarah pada destinasi final yang benar, yaitu visi anda (untuk menjadikan generasi muda berkarakter dalam kesadaran membaca).
“PERENCANAAN” SEBAGAI JALAN
Setelah menentukan destinasi final (visi) dan membangun terminal-terminal (tujuan) anda, selanjutnya diperlukan suatu perencanaan yang matang. Perencanaan ini diibaratkan sebagai “jalan” yang dibangun untuk dapat dilalui menuju destinasi final dengan pemberhentian titik-titik terminal yang telah ada. Perencanaan ini merupakan beragam “jalan” untuk dapat menuju pada tujuan (bukan pada destinasi final, melainkan pada terminal). Merencanakan berbagai “jalan” juga perlu diperkirakan tantangan atau kendala-kendala yang nantinya akan dihadapi berikut langkah-langkah untuk mengatasinya.
Bagaimana menyusun perencanaan? Pertama-tama, pikirkan langkah apa saja yang paling mungkin atau realistis untuk dapat dilakukan segera? Tentukan ukuran ketercapaian dan waktu tempuhnya serta sumber daya apa saja yang sekiranya dibutuhkan. Setelah itu, cobalah imajinasikan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Kendala atau tantangan apa saja yang sekiranya akan muncul di tengah perjalanan anda.
Tantangan atau kendala ini dapat dikaitkan dengan kompetensi diri (baik kualitas maupun kuantitas) serta kondisi lingkungan disekitar anda. Dengan demikian, anda dapat memikirkan solusi-solusi yang mungkin untuk mengatasinya. Sekali lagi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah “jalan-jalan” yang dibangun perlu terarah menuju ke “terminal-terminal” yang telah anda dirikan sebelumnya.
Merencanakan sebuah jalan-jalan (pathways) hendaknya bersifat dinamis. Sebab, tidak seperti visi yang bersifat tak lekang oleh waktu (fixed), situasi dan kondisi (sosio-politis, budaya, ekonomi, dan seterusnya) selalu mengalami perubahan dan besar kemungkinannya akan mempengaruhi roadmap dan perencanaan anda. Meskipun demikian, perubahan-perubahan perencanaan hendaknya tidak mengubah haluan dari visi yang telah diciptakan. Demikian halnya berlaku pada tujuan-tujuan atau “terminal-terminal” yang telah anda bangun.
“MOTIVASI” SEBAGAI KENDARAAN
Komponen terakhir self leadership adalah motivasi (agency). Motivasi diibaratkan seperti “kendaraan” yang akan anda digunakan untuk melintasi “jalan-jalan” menuju “terminal-terminal”. Tentu anda perlu memiliki kendaraan yang sesuai dengan kondisi “jalan” yang hendak dilalui, juga seberapa jauh waktu tempuh untuk dapat sampai pada “terminal” pertama dan “terminal-terminal” selanjutnya.
Agar dapat mengetahui kualitas “kendaraan” yang anda miliki, anda perlu meningkatkan kesadaran diri (self-awerness) terhadap diri anda sendiri. Tanyakanlah pada diri anda sendiri, pertanyaan-pertanyaan reflektif-kritis seperti misalnya, “Adakah yang menahanku untuk memulai?”, “Bagaimana saya dapat bebas dari kesulitan itu?”, “Saya perlu menjadi orang seperti apa?”, dan “Untuk siapakah saya melakukan ini semua?” serta tentu masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan hidup anda.
Kunci dari keberhasilan di dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah adanya keberanian diri untuk jujur (apa adanya) terhadap diri anda sendiri. Keberanian untuk menerima (self-acceptance) atas kekurangan dan kelemahan yang dimiliki. Jika persoalan yang muncul dirasa sangat berat dan sangat membebani, maka dibutuhkan kolaborasi dengan orang yang profesional dibidangnya.
Motivasi anda menjadi seorang Dosen juga bergantung dari passion anda sebagai Dosen. Apakah anda memilih menjadi Dosen dengan menyadari sepenuhnya fungsi profesi Dosen itu sendiri? Menjadi hal yang krusial jika passion anda sebetulnya tidak sesuai dengan fungsi profesi Dosen. Dan, visi hidup anda besar kemungkinan tidak memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan sebuah visi itu bereksistensi. Dengan sendirinya, tujuan-tujuan hidup anda akan menyimpang dari haluan yang ideal.
SELF LEADERSHIP DALAM MENDIDIK KARAKTER
Penting untuk diketahui bahwa keempat komponen di dalam self leadership ini bersifat resiprositas. Tanpa motivasi atau “kendaraan” yang tepat seorang Dosen tidak akan mampu melintas di “jalan” dengan berbagai macam tantangan yang ada. Tanpa perencanaan atau “jalan” yang matang, seorang Dosen tidak akan dapat mencapai “terminal-terminal” yang telah dibangun. Tanpa tujuan atau “terminal”, seorang Dosen akan kehabisan energi dan kemudian kehilangan arah untuk menuju pada visi yang telah diimpikan.
Seorang Dosen yang tidak memiliki kemampuan self leadership tidak mampu memiliki visi dan tujuan hidup, perencanaan dan motivasi diri di dalam menjalankan perannya sebagai Dosen. Tidak hanya itu, dalam konteks pendidikan karakter, dirinya tidak dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi mahasiswanya.
Bagaimana mungkin memotivasi mahasiswa jika dirinya tidak mengenal dan memahami siapa dirinya? Bagaimana mungkin mengajarkan konsep perencanaan yang matang (pathways) dalam hidup bila dirinya tak pernah mengalaminya? Bagaimana mungkin menunjukkan tujuan hidupnya bila dirinya tak bertujuan. Bagaimana mungkin menyadarkan mahasiswa akan pentingnya memiliki visi hidup jika dirinya tidak memiliki visi hidup?
Apapun keilmuan, program studi atau jurusan anda, self leadership menjadi fondasi seorang Dosen untuk dapat mendidik mahasiswanya. Dengan kata lain, mahasiswa boleh saja memiliki kualitas keterampilan akademik dan keilmuan yang mumpuni, tetapi jika dirinya tak dapat mengolahnya dalam kehidupan, maka bukan saja dirinya yang akan menjadi korban, tetapi juga masyarakat tidak akan mendapatkan dampak positif maupun manfaat dari hasil sebuah pendidikan. Perubahan sosial ke arah yang lebih baik tidak akan terjadi.
Visi seorang Dosen hendaknya berkorelasi dengan visi Program Studi atau Jurusan di mana dia mendidik. Visi Program Studi hendaknya selaras dengan visi yang dimiliki Fakultas. Dengan sendirinya, visi Fakultas perlu linear dengan visi Universitas. Dan, jangan lupakan, visi Universitas sejatinya selalu mendukung terciptanya visi Bangsa Indonesia. Di sinilah letak krusialitas suatu pendidikan bila ingin membangun peradaban bangsa.
Anda yang berprofesi sebagai Dosen, sadarilah bahwa anda merupakan salah satu kunci keberhasilan, tidak hanya untuk Program Studi, Fakultas maupun Universitas di mana anda mengajar, tetapi juga untuk Bangsa Indonesia di dalam mewujudkan kemerdekaan, persatuan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu, tanyakanlah pada diri anda: “Sudahkah aku memiliki visi, tujuan, perencanaan hidup serta kualitas motivasi yang tepat? Sudahkah aku berproses melalui self leadership semacam ini?”
Antono Wahyudi adalah seorang Dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa, Universitas Ma Chung, Malang.